Archive for September, 2009

Appraisal

Sudah dua minggu terakhir ini saya dan para penyelia lain bolak-balik-bolak mendapat email reminder dari Performance Management Helpdesk. Tentang performance appraisal (PA) karyawan tahun 2009. Tahun ini ada 12 orang dalam team saya yang harus saya nilai dan berikan rating.

Duh. Duh. Duh. Ini adalah pekerjaan yang tidak terlalu saya sambut dengan antusias. Bukan apa-apa, hasil akhir PA karyawan berkaitan erat dengan UUD alias Ujung-Ujungnya Duit. Dalam arti, jika PA seorang karyawan dinilai baik, maka berpotensi mendapat bonus & merit increase yang baik pula. Sebaliknya, jika PA dinilai rendah, maka bonus & merit increase juga walahualam.

Penyelia biasanya berada dalam dilemma. Maunya semua dinilai baik, dan penilaian dilakukan seadil-adilnya sesuai dengan kinerja dan kontribusi masing-masing dalam team. Akan tetapi, penentuan nilai dan rating tidak sesederhana CUMA menaruh sejumlah angka kemudian was-wes-wus semua beres. Semua senang. Semua menang. Walaupun dalam kelompok kecil penyelia memberikan penilaian yang baik untuk semua anggota team (dan memang kenyataannya semua baik), ketika dibawa ke kelompok yang lebih luas, ternyata tidak semua bisa mendapat nilai yang setara. Penyelia dituntut untuk bisa meng-adjust rating yang diberikan yang harus disesuaikan dengan jumlah anakbuah dan kurva yang (biasanya) sudah dimodel sebelumnya. Lagi-lagi karena UUD tadi. Konsekuensinya, ada yang biasanya terpaksa harus diturunkan dari rating awal yang sudah diberikan. Atau syukur-syukur bisa naik rating (yang ini jarang terjadi).

Pusing kepala?? Sudah pasti. Lebih pusing lagi ketika nanti di akhir seluruh proses PA, penyelia harus mensosialisasikan rating akhir yang sudah melalui saringan beberapa level kepada bawahan langsungnya. Kalau rating bawahan masih sama seperti yang diberikan oleh penyelia langsung sih tidak masalah… Lah, kalau rating akhirnya ternyata turun?? Pusing kan memberikan penjelasannya? Well, biasanya harus mengeluarkan kalimat sakti “Ini sudah menjadi keputusan dari manajemen.”

Hmmm… kalau sudah begini, ingin rasanya saya bekerja untuk diri saya sendiri. Tidak perlu pusing memikirkan menilai kinerja orang lain (yang berbuntut berapa rupiah yang akan diterima orang tsb.), pun tidak perlu pusing menanti berapa rating yang nanti akan saya terima dari penyelia saya. Pengen banget saya bekerja yang betul-betul ‘dari saya, oleh saya dan untuk saya’. Suatu hari nanti. Mungkin.

September 29, 2009 at 8:15 am Leave a comment

Sampah Kertas VS Paper-Addict

Pagi ini saya menghabiskan hampir 2 jam untuk membereskan serta merapikan gunungan kertas di meja kerja saya. Gunungan kertas yang sebagian besar merupakan dokumen-dokumen lama tsb. kudu disortir satu-persatu, mana yang masih harus disimpan dan mana yang sudah harus menjadi penguni tempat sampah.

Memang luar biasa ternyata pemakaian kertas untuk aktivitas kantor, terlebih untuk yang berkecimpung dalam bidang training seperti Departemen kami. Sepertinya adaa…saja hal yang harus di-print. Sampah kertas residu dari meja kerja saya saja kalau ditimbang mungkin ada sekitar 3 kg, berupa handouts kelas yang lama, lembar jawab ujian peserta tahun-tahun baheula,  soal-soal ujian yang sudah tidak terpakai, cikal-bakal modul, dll dst dsb. Itu baru dari kubikel saya yang tidak seberapa besar. Bayangkan kalau satu kantor yang sortir dokumen. Ckk…ckkk..ckkk…jadi gak tega saya membayangkan berapa ribu batang pohon yang sudah dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan kertas yang kemudian berakhir di tempat sampah begitu. (Sebagian ‘sampah kertas’ dari meja saya masih saya simpan sih…untuk digunakan lagi sebagai recycle paper. Sayang, untuk kertas-kertas jawaban ujian yang sifatnya ‘rahasia’ terpaksa harus saya hancurkan.)

Walaupun jaman sekarang sudah serba elektronik, dan penggunaan e-book semakin populer, sepertinya masih susah saja untuk putus-hubungan-dengan-kertas. Di kantor kami saja, setiap hari entah berapa rim kertas HVS (rata-rata berukuran A4) yang digunakan untuk print out, terutama untuk materi training. Padahal, sesudah training entah materi-materi tsb. masih disimpan peserta atau langsung masuk tong sampah, who knows?  Di departemen-departemen lain juga pastinya tidak terlepas dari penggunaan kertas dalam aktivitas keseharian mereka. Lebih luas lagi, dalam skala perusahaan seraksasa tempat saya bekerja ini, uhh…saya jadi ngeri membayangkan berapa ratus rim kertas yang dikonsumsi setiap bulannya. 

Jadi mengira-ngira, 10 tahun lagi apakah masih akan tersisa pohon-pohon yang bisa ditebang untuk diolah menjadi kertas ya? Atau kalau mau lebih jauh, 1 abad kedepan?? Mungkin pada saat itu, yang namanya kertas tinggal menjadi barang kenangan, yang pernah masuk dalam catatan sejarah manusia. 

Kalau saya menulis ini, bukan berarti saya sendiri sudah bisa terlepas dari ketergantungan akan kertas. Tapi semakin dipikir, saya jadi berasa semakin bersalah terhadap alam. Sekecil apapun, saya juga berkontribusi dalam pengeksploitasian alam… dalam hal ini secara spesifik dalam penebangan pohon untuk dijadikan kertas.

So, what can I do?? Mungkin untuk langkah awal, saya perlu ikut berkampanye mengurangi jumlah print out, seperti yang beberapa orang tulis dalam signature email mereka: Please consider our environment before you print this e-mail. 5 rim kertas A4 setara dengan 1 batang pohon berdiameter 60 cm dengan umur sekitar 12 – 15 tahun.

September 29, 2009 at 2:17 am Leave a comment

Cara Jitu Tangkis Flu

Selain sebagai “melting pot” alias tempat bertemu & berkumpulnya orang dari berbagai belahan bumi, Tembagapura juga sangat berpotensi sebagai tempat “ngumpul” berbagai virus flu. Bagi saya sendiri, rekam medis saya periode 2003 – 2006 didominasi kasus flu. Minimal 6 bulan sekali saya terserang flu. Padahal sebelumnya jarang tuh saya sakit.

Terkena flu pastinya sangat tidak mengenakkan. Apalagi di daerah dingin seperti Tembagapura, kalau sudah terserang flu biasanya lama sembuhnya. Lebih parah lagi kalau sudah dibarengi batuk yang mengakibatkan tenggorokan meradang. Kalau sudah kena radang tenggorokan, paling dokternya memberi antibiotic. Padahal konon sering mengkonsumsi antibiotic juga gak bagus buat kesehatan.  

Setahun belakangan ini sudah sangat jarang terserang flu ato batuk. Thanks to my hubby yang mengenalkan beberapa jurus penangkal flu. Kuncinya jangan membiarkan flu sampai “jadi”. Begitu sudah ada gejala yang biasanya diawali dengan bersin-bersin, langsung kudu dilawan.

Beberapa tips berikut mungkin berguna buat yang sering terserang flu:

  1. Menggunakan larutan garam untuk ‘membilas’ saluran hidung. Caranya: ambil air suam-suam kuku, jangan terlalu panas (air dengan suhu ruangan juga boleh, asalkan matang). Larutkan garam secukupnya, tidak perlu terlalu asin. Untuk ‘membilas’ saluran hidung, larutan garam tsb. bisa langsung dihirup dengan hidung. Lebih gampang dengan menggunakan ‘syringe’ (semacam alat injeksi atau semprotan) untuk menyemprotkan larutan garam tsb. ke dalam hidung. Larutan garam sangat efektif untuk membantu pengeluaran cairan yang biasanya menyumbat saluran hidung. Efeknya ya melegakan pernapasan. Gunakan larutan garam 2x sehari (pagi dan sore/malam).
  2. Minum teh panas yang dicampur madu, jahe, dan jeruk nipis. Kalau ada, doyan dan boleh, teh-madu-jahe-jeruk nipis tsb. bisa dicampur sedikit wiski.
  3. Makan sup ayam yang dimasak dengan banyak merica, bawang putih dan seledri.
  4. Jangan lupa, tidur yang cukup!
  5. Oiya, kalau mau bisa juga mengunyah bawang putih mentah. Khusus tips terakhir ini, selain efektif menangkal serangan flu, juga efektif membuat pasangan anda ogah untuk dekat-dekat, hahahahaha….

Jurus-jurus di atas sangat membantu lho… sekaligus menurunkan ketergantungan terhadap obat-obat buatan pabrik. Kalaupun harus minum obat, paling banter cuman panadol cold & flu doang, ditambah paracetamol kalo badan meriang.

Yang sering saya praktekkan adalah #1 – 4. Untuk #5 saya masih gak kuat efek sampingnya, hehehe…

September 26, 2009 at 6:15 am 2 comments

Stereotype

Dalam sebuah acara kumpul-kumpul Sabtu malam, seorang kawan melemparkan pertanyaan, “Kalau seorang cowok Batak menikah dengan cewek Minang, kira-kira anaknya nanti ikut garis bapak atau garis ibu ya…?”

Tidak ada yang bisa menjawab dengan pasti. Bingung juga, karena menurut adat Batak, anak itu ikut garis bapak; sementara di Minang, garis ibu yang lebih dominan. Kalau buat saya sih, solusinya dirembuk bareng antara suami-istri sajalah…nanti anaknya mau diikutkan garis siapa.

Seorang ibu yang duduk di sebelah saya kemudian mulai curhat. Diawali dengan pertanyaan *tepatnya pernyataan* begini, “Kalau cowok Jawa menikah dengan cewek Batak, cowoknya harus pakai marga ya, mbak?” Hmm, saya juga kurang tahu ya? Yang jelas, salah seorang teman dengan case serupa, suaminya mendapat gelar marga sesuai dengan pariban istrinya. 

Usut punya usut, ternyata sang ibu sedang merasa kuatir. Anak lelakinya yang masih di bangku kuliah berpacaran dengan gadis Batak. Si ibu ini orang Jogja asli, suaminya juga, dan sang putra yang sedang dimabuk cinta itu adalah anak lelaki mereka satu-satunya. Sebagai orang tua, si ibu dan suaminya mengharapkan anaknya kelak bisa berjodoh dengan perempuan dari kalangan sendiri. Suami si ibu kabarnya sudah mengeluarkan pernyataan amat tidak setuju anaknya berhubungan dengan gadis Batak.

Saya tanggapi bahwa sebaiknya ibu & suaminya tidak perlu terlalu kuatir. Toh jodoh itu tidak bisa diatur-atur atau dipaksa-paksa. Kalau sudah jodohnya tidak akan lari kemana juga kok. Sang ibu ngotot dan mengatakan bahwa menikah dengan lain suku itu lebih banyak repotnya. Dengan nada sedih si ibu mengeluhkan, mengapa anak lelaki kesayangannya itu tidak pacaran dengan gadis Jawa saja, walaupun di satu sisi dia mengakui bahwa pacar anaknya yang sekarang itu cantik, baik, pintar menyanyi pula.

Aha! Si ibu rupanya tidak sadar kalau dia curhat pada orang yang salah. Dia tidak tahu bahwa saya tidak setuju perjodohan yang terlalu diatur oleh orang tua. Karena menurut saya, untuk kelangsungan hubungan pasangan, hal paling mendasar adalah soal cinta dan kecocokan. Tidak jadi soal masing-masing dari suku atau bangsa apa. Kembali ke pacar di cowok, jika memang gadis itu cantik, baik, dan punya kelebihan, mengapa harus di-diskredit-kan dari peluang menjadi calon menantu hanya karena perbedaan suku? Sungguh konsep yang susah saya mengerti. Dalam hati saya kasihan lho sama anaknya si ibu itu…

Amat disayangkan, dalam ranah perjodohan, banyak orangtua masih terpengaruh stereotype. Sering ada keengganan untuk menerima anggota keluarga baru *baca: menantu* yang berasal dari suku yang berbeda. Padahal pembauran melalui pernikahan itu membuat kita semakin diperkaya lho… setidaknya dalam hal adat istiadat & budaya. Juga mengajarkan kita untuk lebih bertoleransi terhadap perbedaan.

Bukankah dari kecil kita juga diajarkan untuk bisa menghargai dan menerima perbedaan?

September 21, 2009 at 2:21 am 1 comment

Roti Jala & Tape Ketan Ijo

Yang paling menyenangkan dari acara lebaran di Tembagapura bagi saya yang non-muslim, tentu saja kesempatan mencicipi berbagai makanan khas yang baru ‘muncul’ di hari lebaran. Rata-rata keluarga yang merayakan lebaran namun tidak bisa cuti, mengadakan ‘Open House’ di jobsite. Siap-siap membawa perut kosong saat bersilaturahmi, karena pasti akan tergoda untuk minimal icip-icip hidangan lebaran di setiap rumah yang dikunjungi.

Seperti kemarin. Dalam kunjungan ke beberapa teman, kami mendapati hidangan khas, seperti roti jala yang dimakan dengan kare sapi, mpek-mpek Palembang, sate ayam, cumi bakar, juga ada kue-kue tradisional semacam kembang goyang dan tape ketan ijo. Semua enak. Semua  menggoda untuk dicoba.

Setelah kunjungan di rumah ketiga, rasanya perut sudah tidak ada space kosong lagi untuk menampung makanan. Entah berapa jenis makanan yang sudah masuk.

Pulang dari silaturahmi, saya jadi berandai-andai… jika saja keanekaragaman yang bisa disajikan berdampingan dengan harmoni bukan hanya hidangan lebaran. Jika saja semua umat dengan agama berbeda-beda bisa selalu hidup rukun dan damai, serta menempatkan satu sama lain dalam tataran setara. Jika saja semua bisa saling berbaur, seperti roti jala yang bisa dicampur dengan mpek-mpek Palembang, atau ketan ijo yang bisa dikombinasikan dengan getuk singkong. Ah, alangkah indahnya jika kebersamaan semacam itu bisa senantiasa terwujud di bumi Indonesia ini.

Untuk semua yang merayakan… Selamat Hari Idul Fitri 1430H. Minal Aidin Wal Faidzin. Mohon maaf lahir dan batin.

September 21, 2009 at 1:01 am Leave a comment

Rainbow Family

Seandainya keluarga besar Pak Kastubi semuanya bisa berkumpul, termasuk dengan para besannya, maka akan terlihat berbagai suku bangsa jadi satu. Seperti pelangi.

Ke-pelangi-an keluarga kami dimulai dengan bapak yang menikah dengan perempuan Dayak. Sehingga anak-anaknya menjadi anak JaYa alias Jawa-Dayak. Saya sendiri sih jujur tidak merasa sebagai orang Jawa. Bukan karena saya tidak mengakui suku asal bapak saya, tapi karena saya dan saudara-saudara saya memang tidak dibesarkan dalam kultur Jawa. Lah, Bahasa Jawa saja yang kami tahu sampai dengan SMP hanya menghitung 1 – 10 dalam Bahasa Jawa ngoko. Di luar itu kami lebih akrab dengan kultur Melayu dan Dayak.

Identitas kami sebagai suku Jawa mungkin hanya di atas kertas. Dalam artian, kalau mengurus SIM, SKCK dan semacam itu kan harus mencantumkan suku. Nah, saya biasanya bingung mau ‘mengklaim’ diri saya sebagai suku apa…Pengennya sih sebagai ‘Dayak’ atau ‘Melayu’ sesuai dengan kultur saya dibesarkan, tapi petugasnya biasanya bertanya, “Lah, bapak kamu sukunya apa?” Yaa…karena sebagian besar suku di Indonesia menganut sistem patrialistik, di atas kertas selalu tertulis bahwa saya adalah suku Jawa.

Adik perempuan saya menikah dengan lelaki Menado sehingga anaknya menjadi Menado-Jawa-Dayak. Kakak perempuan saya menikah dengan lelaki Jawa (nah, kalau kakak sih nanti anaknya menjadi Jawa 75% dan Dayak 25%, hehehehe…).

Saya? Menikah dengan lelaki berkewarganegaraan Australia tetapi keturunan Italia. Jadi, kalau punya anak kelak suku bangsa anak kami akan lebih campur-aduk: Italia-Australia-Jawa-Dayak-Indonesia. Hahahahaha… gado-gado banget!

Enaknya menjadi anak dari pasangan Pak Kastubi & Ibu Adriana Kartia, kami tidak dituntut untuk mempertahankan identitas kesukuan. Alias tidak ada preferensi anak-anak mereka harus menikah dengan suku tertentu. Lah, yang namanya cinta dan suka memang seharusnya tidak mengkotak-kotakan warna kulit-ras-suku-bangsa, bukan? Orangtua kami selalu mengatakan, yang paling penting adalah anaknya bahagia dengan pilihannya. Orangtua yang cukup demokrat, menurut saya:)

Masih ada dua orang adik lelaki saya yang belum menikah. Dan saya menanti-nanti apakah adik-adik saya itu akan juga berpartisipasi dalam perluasan ke-pelangian- keluarga kami, hehehehe…

September 19, 2009 at 12:27 am 8 comments

Antara Mertua dan Memasak

Ada satu hal yang membuat saya sedikit deg-degan kalau pulang ke Australia, ke rumah mertua. Bukan karena mereka mertua yang menakutkan, asli bukan itu. Tapi karena saban kali pulang ke sana, saya selalu diminta untuk memasak buat mereka. Minimal sekali dalam setiap kunjungan. Pertama kali rasanya seperti uji-kelayakan-sebagai-menantu. Lama-lama menjadi semacam acara wajib.

Perkara sepele? Iya, kalau saja mertua saya mau dimasakin apa saja yang gampang. Akan lebih gampang lagi kalau saya bisa memasak dengan mencomot salah satu koleksi resep andalan mama mertua, yang pasti sudah teruji di dapurnya.

Yang bikin pusing, mintanya dimasakin yang khas Indonesia. Padahal kebanyakan masakan khas Indonesia kan kaya rempah dan rasa. Plus, saya suka memasak dengan cita rasa pedas. Sementara mertua saya dua-duanya tidak terlalu nge-fans dengan makanan pedas. Memasak untuk Adrian, my dear hubby, jauh lebih gampang. Secara, doi tergolong pemakan segala, dan perutnya juga sudah beradaptasi sangat baik dengan makanan Indonesia. Malah untuk urusan makan yang pedas-pedas, saya kadang kalah deh sama Adrian.

Kalau saya ingat-ingat lagi… dalam kunjungan-kunjungan sebelumnya ke rumah mertua, saya sudah memasakkan mereka Seafood Asam Pedas, Daging dengan Saus Asam Manis, Kari Ayam, Stuffed Squid alias cumi isi (yang isinya saya kira-kira sendiri)  dan terakhir ‘Fried Silver Fish’ (yang bentuknya mirip teri, tapi belum diasinkan). Rata-rata masakan itu adalah hasil reka-reka resep dan bumbunya saya usahakan untuk disesuaikan dengan lidah mereka. Selesai memasak, biasanya saya menunggu dengan harap-harap cemas, bagaimana komentar mereka terhadap masakan saya. Untungnya, sejauh ini sih mertua selalu memuji masakan saya (entah karena enak beneran, entah untuk menyenangkan hati saya supaya gak mogok masak, hehehe…).

Semalam, dalam perbincangan di telepon dengan Sante Zarantonello (Sante-nya dibaca: Sandy) — sang bapak mertua — beliau mengingatkan saya lagi untuk membawa resep baru dalam kunjungan berikutnya. Biasaa…saya ternyata masih terikat kewajiban memasak untuk mertua.

Duh, duh, duh… harus mulai browsing-browsing resep lagi nih. (Suami sempat mengusulkan untuk memasak ayam rica-rica saja, pakai resep asli yang puedes. Hah? Bisa dipecat sebagai menantu saya nanti, dengan tuduhan membuat mertua sakit perut :-p)

Jadi, tar masak apa ya…???

Yach, setidaknya masih ada beberapa minggu untuk pilah-pilah resep. Doakan saya, semoga masakan berikut juga masih bisa dinikmati oleh mertua.

September 17, 2009 at 7:13 am 4 comments

Bapak

Dalam sebuah postingan beberapa waktu lalu, saya berbusa-busa cerita tentang mamak. Sekarang saya mau cerita tentang sosok bapak.

Bapak saya bernama Fransiskus Assisi Kastubi, biasa dipanggil Pak Kas. Orang Jawa asli, tapi ngomong melayunya totok.  Merantau ke Kalimantan sejak umur 19 tahun, bertemu dengan ibu saya yang asli Dayak. Kemudian menikah dan punya 5 orang anak (saya anak kedua). Dan bagi bapak saya, Kalimantan (terutama Tumbang Titi) adalah rumahnya. Tak mau dia pulang untuk menetap di Jawa, sekalipun sesudah pensiun kelak.

Bapak seorang pegawai negeri, tepatnya guru, tapi bekerja di Yayasan Pangudi Luhur. Sebagai guru, Pak Kas terkenal galak dan amat disiplin. Saya masih ingat suaranya yang menggelegar menegur saya gara-gara asyik kenalan dengan teman baru, cowok (ehm!), di kelas 1 SMP, pada saat bapak sedang bicara di depan kelas. Ya, ya. Bapak pernah menjadi guru saya (dan guru kakak serta adik-adik saya juga) selama 3 tahun di SMP. Prinsip bapak jelas, kalau di rumah kami anak-anaknya, di sekolah tetap muridnya yang harus mendapat perlakuan sama seperti murid lain. Kalau perlu lebih keras, karena bapak gak mau anak-anaknya malu-maluin.

Karena terkenal galak, seingat saya waktu kecil saya jarang ngobrol dengan bapak. Apalagi bermanja-manja dan menggelendot sama beliau. Uhh…mana berani. Bapak hampir selalu kelihatan serius. Sering saya lihat bapak duduk di kursi ruang tamu, dengan kening berkerut-kerut seperti sedang berpikir keras. Ketika sudah hengkang dari rumah, saya menyadari bahwa keseriusan bapak masa itu karena bapak harus menghidupi keluarga besar. Bapak harus memutar otak, bagaimana caranya dengan gaji seorang pegawai negeri, keluarganya bisa makan dan anak-anaknya bisa sekolah dengan baik.

Menyadari gaji guru-pegawai-negeri tidaklah seberapa, bapak bekerja ekstra sana-sini. Pagi mengajar di SMP Pangudi Luhur. Pulang makan siang dan istirahat sebentar. Jam 1.30 pergi mengajar di SMP PGRI yang masuk siang. Selesai jam 5 sore. Malamnya, jam 6 – 8 malam nungguin anak-anak asrama bruderan belajar (padahal honornya gak seberapa lho!). Pulang, makan malam. Mulai jam 10 malam biasanya bapak masuk ke ‘kamar gelap’-nya untuk mencetak foto, yang merupakan usaha sampingannya. Seringkali baru selesai tengah malam. Bapak juga disibukkan dengan tugas sebagai bendahara Credit Union (CU) St. Yohanes, yang harus melayani anggota CU yang datang ke rumah untuk urusan simpan-pinjam. Pernah bapak juga menjadi ‘agen KTP’, selain sebagai tukang foto. Orang yang membuat KTP kan perlu pasfoto…dan bapak menangkap peluang itu. Di samping hanya membuatkan foto, kenapa tidak sekalian membuatkan KTP? Walaupun dengan begitu bapak juga yang repot mondar-mandir ke kelurahan dan kantor camat.

Menurut saya, waktu saya kecil bapak itu orangnya cenderung kaku. Dan humor-humornya kadang terdengar garing. Satu lagi, sebagai guru yang mengajar Bhs. Indonesia, bapak sangat patuh terhadap Ejaan Yang Disempurnakan alias EYD. Pokoknya doi fans-nya J.S. Badudu deh…! Sewaktu saya di SMA, saya suka menulis surat ke rumah sebagai pengobat rindu. Kadang-kadang menggunakan bahasa gaul dalam surat-surat saya. Dan sodara-sodara… pernah bapak menggunakan penggalan surat saya dalam pelajaran Bhs. Indonesia di kelasnya, sebagai… contoh penggunaan Bahasa Indonesia yang tidak tepat!!! Whuahahahaaaa…

Kekakuan bapak terasa mulai mencair ketika anak-anaknya satu-persatu keluar dari Tumbang Titi untuk melanjutkan sekolah. Maksudnya, bapak sudah mulai bercanda-canda gitu deh kalau ada kesempatan bicara dengan dengan kita-kita yang jauh. Tahun 1999, saya pulang kampung untuk libur natal bersama dua adik saya, Yustin dan Nug. Naik kapal laut supaya irit. Ketika kami sudah hampir merapat di pelabuhan Ketapang, terlihat bapak berdiri menunggu kami, dengan senyum terlebar yang pernah saya lihat tersungging di bibirnya. Setengah berlari kami menghampiri bapak. Dan…happ…brukk…!!! Bapak gelagapan kami rangkul dari 3 arah. Selintas saya lihat setitik air di sudut matanya. Bahagia karena 3 anaknya bisa pulang merayakan natal bersama keluarga.

Ahh. Bercerita tentang bapak tidak akan ada habisnya.

Poinnya adalah, bagi saya bapak sosok yang amat bertanggung jawab terhadap keluarganya dan mencintai mereka sepenuh hati. Saya bangga pada bapak saya, sekaku dan segalak apapun bapak dalam kenangan masa kecil saya.

We love you full, bapak…:)

September 17, 2009 at 5:55 am 6 comments

Tentang Kolesterol

Rasa fobia saya terhadap kolesterol membuat saya browsing informasi tentang si kolesterol, dan tadaaa…dapatlah info-info berikut:

°    Kolesterol adalah molekul sejenis lipid yang ada di aliran darah dan dibutuhkan untuk proses metabolisme tubuh dan diproduksi oleh hati.

°    Kolesterol dalam darah terdiri atas HDL, LDL, dan trigliserida. Walaupun sejumlah kolesterol dalam darah sangat dibutuhkan untuk kesehatan, jika kolesterol diproduksi secara berlebih, maka akan timbul berbagai macam masalah penyakit.

°    HDL atau High Density Lipoprotein merupakan kolesterol baik karena dipercaya dapat mengeluarkan kolesterol jahat di dalam darah. Sedangkan kolesterol jahat itu sendiri biasa disebut dengan LDL atau Low Density Lipoprotein.

°    LDL biasanya mengangkut sebagian besar kolesterol tubuh, beberapa di antaranya ditransfer melalui dinding arteri yang selanjutnya berkumpul membentuk plak. LDL sendiri memiliki sifat aterogenik yang menyebabkan penebalan dan kekakuan pembuluh darah.

°    Penyebab kolesterol sendiri bisa dikarenakan berbagai macam faktor, termasuk di dalamnya pola makan dan riwayat keluarga. Kelainan kadar kolesterol dalam darah disebut sebagai dislipidemia.

°    Pada orang yang memiliki kolesterol tinggi ditambah dengan faktor risiko lainnya, seperti penyakit jantung maupun stroke, maka dinding pembuluh darah mudah dimasuki oleh kolesterol jahat atau LDL. Selain itu, lemak juga menjadi mudah menyusup. Lama-kelamaan akan menumpuk sebagai plak. Namun, pada orang yang kadar kolesterolnya normal, LDL tidak akan mudah menyusup.

°    Saluran darah yang sehat, pada permukaannya akan datar dan halus. Pembentukan plak sendiri tentu akan membuat saluran darah menjadi lebih sempit, dan jantung otomatis harus bekerja lebih keras lagi untuk memompa darah.

°    Untuk mencegah kadar kolesterol yang tinggi di dalam darah, upaya yang bisa dilakukan adalah dengan meminimalisasi faktor risiko. Faktor risiko kolesterol dibagi dua,yakni faktor risiko yang bisa diubah dan tidak bisa diubah.

°    Faktor risiko yang tidak bisa diubah antara lain usia. Biasanya semakin bertambah usia, kadar kolesterol pun semakin tinggi. Selain itu, jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor. Biasanya wanita memiliki risiko terkena kolesterol tinggi ketika masa menopause karena di masa ini kadar LDL dalam tubuh wanita cenderung meningkat.

°    Sementara itu, faktor risiko yang bisa diubah antara lain faktor gaya hidup, seperti obesitas, kandungan gizi pada makanan yang kurang diperhatikan saat dikonsumsi, kurang aktivitas yang bisa memicu naiknya kadar kolesterol, dan merokok. Semua faktor ini dapat membantu pembentukan penumpukan lemak pada dinding arteri.

°    Untuk itu, pengecekan secara berkala terhadap kolesterol perlu dilakukan untuk mengetahui kadar kolesterol. Normalnya kolesterol dalam darah seseorang antara 150-200 mg/dl. Jika kadar kolesterol total kurang dari 200 mg/dl, maka seseorang dikatakan berisiko rendah terhadap penyakit jantung.

°    Sementara yang total kolesterol antara 200-239 mg/dl, maka dia berisiko terserang penyakit jantung, dan jika total kolesterol lebih dari 240 mg/dl, maka termasuk yang berisiko tinggi terhadap penyakit jantung.

°    Untuk mencegah penyakit pembuluh darah, ada tiga rasa yang harus dihindari. Pertama adalah rasa manis yang dihasilkan oleh gula yang bisa menjadi penyebab dari penyakit diabetes melitus. Kedua adalah rasa gurih yang berasal dari makanan berlemak seperti daging (dengan penyakit penyertanya adalah dislipidemia, sebagai faktor risiko utama penyakit jantung koroner). Terakhir adalah rasa asin yang berasal dari garam yang bisa menyebabkan hipertensi.

Sumber: www.Okezone.com

****

 [Hmm, untuk saya…usaha yang pertama kali perlu dilakukan tampaknya memperbaiki pola makan.]

September 15, 2009 at 10:18 pm Leave a comment

Menjelang MCU

Kemarin siang, saya dapat e-mail cinta-rutin-tahunan dari admin. Yang berisi surat pengantar Annual Medical Check Up (MCU) untuk tanggal 2 October 2009 nanti.

Apa?? Sudah harus medical check up lagi? Perasaan belum lama deh saya MCU. [Iya Niq, terakhir kamu MCU tuh October 2008 :-p]

Uhh…saya sebenarnya agak alergi dengan yang namanya MCU. Bukan soal prosesnya, tapi result-nya. Yang membuat saya agak-agak tidak percaya diri adalah masalah KOLESTEROL.

Dari hasil MCU tahun 2005 diketahui bahwa kadar kolesterol saya mencapai angka 250. Oleh dokter, saya disarankan untuk diet rendah lemak dan banyak olahraga. Angka 250 itu cukup membuat kening beberapa orang berkerut. Dengan nada kurang percaya, mereka bilang, “Masa sih bodi kecil kayak kamu kolesterol-nya tinggi?”.

Yeee…kolesterol gak hanya tergantung dari berat badan kaleeee… Untuk kasus saya, pola makan jelas sangat berpengaruh. Dan di messhall karyawan tercinta, menu ‘normal’ setiap hari berkisar di seputaran daging, telur, makanan bersantan. Yaa, kadang suka ada juga salad sayuran dan buah segar sih… Tapi, seringnya gak membuat berselera.

MCU tahun 2006, kolesterol turun dikit, tapi masih di atas angka 200. Kalau gak salah sih sekitar 230 gitu. Tahun 2007, turun lagi menjadi sekitar 220an. Terakhir di tahun 2008 menjadi 213. Lumayannn…

Nah, menjelang MCU tahun 2009 ini saya agak fobia lagi dengan angka kolesterol. Pasalnya, kemarin sesudah saya makan buntut sapi, rasanya kok agak ‘nggeliyeng’ gitu…Kayaknya merupakan salah satu indikasi kolesterol naik deh. Apalagi dalam dua bulan terakhir ini, suplai sayuran dan buah segar di messhall termasuk langka. Jadi, konsumsi sehari-hari (mau tidak mau) ya telur, daging dan ikan. Diet yang miskin serat.

Duh, mudah-mudahan hasil MCU saya besok baik-baik saja. Gak enak tau kalau harus diet macam-macam…

September 15, 2009 at 1:18 am Leave a comment

Salah Sambung

Mau tahu telepon yang paling sering berdering di jejeran kubikel QMS 68, lantai 2?

Telepon di meja saya.

Bukan karena saya orang yang paling di cari di departemen ini, tapi gara-gara nomor telepon di meja saya mirip dengan nomor telepon HRD bagian Compensation & Benefit (HRD-ComBen) dan telepon AVCO (yang mengurus chartered flights  perusahaan). Kalau mau iseng membuat data statistik, dalam sehari paling tidak ada 10 telepon nyasar ke saya. Hitung saja setahunnya berapa 🙂

Saya tidak bisa menyalahkan orang yang salah pencet nomor. Lah wong nomor telepon saya ujungnya 4078, sementara HRD-ComBen 4878, dan AVCO 4087… gimana gak sering keliru coba?

Seperti 5 menit yang lalu. Telepon saya berdering. Setelah saya angkat, pertama kali tentu saya mengucapkan salam standar. “QMS Language, selamat pagi. Dengan Unique. Ada yang bisa dibantu…?” Dari seberang sana suara bapak-bapak mencerocos, “Mbak…mau tanya, tiket saya untuk cuti minggu depan sudah confirm belum?”

Hah? Tiket cuti? Saya kan mengurusi Language & Literacy Training.

Hihihihi…pasti maksudnya mau menelpon AVCO.

Belum lama meletakkan gagang telepon, ada lagi telepon masuk. “Selamat pagi, bu. Kalau mau memasukkan data anggota keluarga baru, sama ibu ya…??” Ujar suara seorang perempuan.

Alamak. Sekarang giliran saya dikira personnel HRD-ComBen.

Pyuhh.

September 15, 2009 at 12:51 am Leave a comment

Suami dan Gym

Sudah seminggu-an ini saya mulai memaksakan diri untuk nge-gym lagi. Lumayan, walau belum sefanatik dulu, dan masih suka on-off, paling tidak sudah ada usaha.  

Belakangan saya punya kebiasaan jelek, nongkrongin tivi seusai kerja. Untuk mengakalinya, sekaligus meng-counter alasan malas dan segudang alasan lain untuk tidak berolahraga, saya membawa kostum gym ke kantor. Jadi, pulang kantor bisa langsung meluncur ke gym, tanpa harus pulang ke rumah dan tergoda tivi dulu.

Ngajak suami ke gym? Oh, no. He’s really not into gym.

Untuk urusan olahraga, saya dan suami memang punya pendapat yang berbeda. Buat suami saya, gym itu olahraga yang individual.Kata dia, olahraga kok sama mesin? Dia lebih suka olahraga yang bersifat pertandingan atau permainan, semacam squash, tennis atau netball. Dia bilang olahraga semacam itu lebih asyik. Mungkin juga karena dia orangnya kompetitif ya?

Alasan lain, menurut dia sih supaya bisa sekalian bersosialisasi. [Untuk alasan terakhir ini saya tidak membantah.]

Nah, kalau pas ke gym dengan saya, paling dia menggunakan mesin ‘rowing’ doang. habis itu…udah deh, kerjaannya gangguin saya saja.

Sedangkan kalau menurut saya, gym itu olahraga mandiri. Lah, iya kan? Kita tidak perlu tergantung orang lain untuk bisa berolahraga. Mau ada teman atau tidak, gak jadi soal. Bisa kapan saja. Yang penting ada niat. Lagian, olahraga di gym bisa dimanfaatkan untuk bersosialisasi juga kok… Bisa ketemu banyak orang, bisa saling ber-say hello-ria…

Dan satu lagi, olahraga di gym baik untuk kesehatan mata saya…Alasannya? Karena seringkali saya disuguhi pemandangan bodi cowok-cowok kekar yang sedang berlatih. Hahahaha…!!!

Pernah saya latihan squash bersama suami. Buntutnya malah berantem. Hanya gara-gara saya main squash dengan pukulan mengayun bak bermain tennis, sementara suami pinginnya saya bisa bermain squash dengan benar (yang lebih mengandalkan kekuatan pergelangan tangan).

Ah, cape deh…!

Jadi? Biarlah suami bermain squash dan saya tetap nge-gym aja. Win-win solution..🙂

September 14, 2009 at 2:11 am Leave a comment

Older Posts


Categories